You don't have javascript enabled. Good luck with that.

For a better view,
please rotate your phone

Secercah Gairah Menolak Punah

Oleh :

Fakhrizal Fakhri

Minggu, 18 Mei 2025 | 267

Telepon seluler milik Hamdani (66) berdering pelan. Di seberang sana, terdengar suara Falah Akbar Alfarizi (21), pengajar muda sekaligus tangan kanan Hamdani, sang pendiri Sanggar Setia Muda.

“Pak, besok anak-anak SMPN 253 latihan lagi ya,” ucap Falah mengingatkan jadwal latihan.

Keesokan harinya, garasi rumah Hamdani kembali disulap menjadi ruang latihan musik tradisional gambang kromong. Falah datang lebih awal dan dengan cekatan mulai menyusun alat musik gambang, kromong, tehyan, hingga gong di ruangan berukuran sekira 3x4 meter tersebut.

Tak lama kemudian, suara melengking nan merdu terdengar dari alat musik tehyan memainkan melodi lagu “Si Jali-Jali” membuka latihan siang itu di Sanggar Setia Muda, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Sanggar Setia Muda didirikan Hamdani pada 17 Agustus 1995. Kini, hampir tiga dekade kemudian, sanggar ini tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga tumbuh sebagai pusat regenerasi budaya Betawi, khususnya gambang kromong. Saat ini, setidaknya ada 25 anggota aktif selain para pelajar SMPN 253 Jakarta.

Falah adalah generasi ketiga dari Sanggar Setia Muda. Ibunya merupakan penyanyi gambang kromong. Sejak kecil, Falah sudah tak asing dengan irama musik khas Betawi tersebut. Kini, ia pun menjadi pengajar ekstrakurikuler untuk genre musik tradisional gambang kromong di SMPN 253 Jakarta.

“Pak Hamdani dulunya guru. Kepala sekolah waktu itu, Pak Abdul Somad, yang meminta beliau untuk membentuk sanggar ini (Setia Muda-red). Saya mulai aktif di Sanggar Setia Muda sejak 2015,” ungkap Falah yang kini sedang menyelesaikan kuliah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Optimisme Falah bukannya tanpa alasan. Saat ini, ada sekitar 30 sekolah di Jakarta yang menjadikan musik gambang kromong sebagai ekstrakurikuler. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga rutin menggelar lomba seperti Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) yang semakin memeriahkan suasana latihan dan menciptakan kompetisi yang lebih sehat.

“Sekarang seru, karena banyak saingan. Anak-anak jadi makin semangat,” katanya dengan antusias.

Namun, tantangan tetap ada. Sebelum pandemi, Sanggar Setia Muda bisa tampil lima kali sebulan. Sekarang, mereka hanya bisa tampil sekitar tujuh kali dalam setahun.

“Sanggar yang aktif ya tolong diajak tampil,” kata Falah.

Untuk tetap relevan, Sanggar Setia Muda pun terus berinovasi. Mereka rutin tampil di media sosial (medsos) melalui live streaming setiap Sabtu malam. Selain itu, mereka juga menggabungkan unsur musik modern seperti keyboard, bass, drum hingga saksofon. Lagu-lagu Benyamin Sueb menjadi salah satu andalan yang dibawakan.

“Kalau lagu Bang Ben, Insya Allah hafal semua,” ucap Falah sambil tertawa.

Falah mengungkapkan, salah satu penampilan yang paling berkesan saat tampil di Setu Babakan pada malam pergantian tahun 2023–2024.

“Itu malam yang nggak akan dilupain. Semua anak main penuh semangat. Saya bangga banget,” kenang Falah.

Menolak Gengsi

Sementara itu, Hamdani mengaku menghidupi sanggar yang didirikannya itu dengan dana pribadinya.

“Nggak pernah minta bantuan siapa-siapa. Saya jalani ini karena inisiatif pribadi untuk melestarikan budaya Betawi. Sebulan bisa habis Rp2,5 juta untuk bayar listrik,” ungkapnya.

Hamdani hanya berharap musik gambang kromong tetap hidup dan tidak punah ditelan zaman. Ia merasa puas setiap kali melihat anak-anak asuhannya tampil dengan penuh percaya diri.

“Yang penting penampilannya nggak berantakan,” katanya.

Di tengah hiruk-pikuk kota dan gemerlap budaya pop, Sanggar Setia Muda tetap berdiri sebagai oase kecil yang terus menyuarakan nada Betawi. Dari tangan Hamdani dan semangat Falah, warga Jakarta diingatkan bahwa budaya bukan hanya sekadar warisan, tetapi juga perjuangan.

Dari garasi sederhana itu, lahir harapan bahwa musik tradisional masih memiliki tempat di masa depan. Hamdani percaya, selama semangat tidak padam, musik tradisional akan tetap hidup.

“Anak-anak jangan gengsi. Ini warisan, jangan sampai hilang,” pesan Hamdani.

Dari garasi sederhana itu pula, nada-nada Betawi terus bergaung. Mungkin tidak semeriah panggung musik pop, namun dari tempat ini sebuah warisan dilestarikan, satu lagu demi satu generasi.