Sama seperti kota-kota besar lainnya, perayaan Imlek atau Tahun Baru Cina di Jakarta berlangsung meriah. Pertunjukan barongsai, tradisi berbagi angpau dan kue keranjang serta mengenakan pakaian berwarna merah kerap menghiasi semarak Imlek. Hal lain yang pantang dilewatkan saat perayaan Imlek adalah sajian ikan.
Kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa meyakini ikan sebagai simbol keberuntungan, rezeki dan kemakmuran. Maka itu, ikan harus ada di setiap perayaan Tahun Baru Cina. Salah satu jenis ikan paling populer dalam perayaan Imlek di Jakarta adalah ikan bandeng.
Bagi masyarakat Tionghoa, ikan bandeng punya makna khusus. Selain melambangkan kesabaran dan ketekunan, ikan bandeng memiliki filosofi kehidupan manusia yang berliku. Duri-duri ikan bandeng dianggap menggambarkan perjalanan hidup yang penuh rintangan. Namun, jika sabar dan terus berusaha, hasil akhirnya bakal memuaskan.
Ikan bandeng bagi masyarakat Betawi juga memiliki makna khusus, terutama menjelang perayaan Imlek. Bukan hanya sekadar hidangan, tetapi dimaknai sebagai simbol penghormatan dan mempererat hubungan atau ikatan sosial yang diwujudkan dalam tradisi Nganter Bandeng, yaitu mengantar hidangan ikan bandeng kepada orang tua dan mertua sebagai bentuk rasa hormat dan kasih sayang.
Tradisi Nganter Bandeng menjelang perayaan Imlek menggambarkan betapa eratnya akulturasi budaya antara Betawi dan Tionghoa yang sudah berlangsung lama. Di tengah perayaan yang identik dengan hidangan khas Tionghoa, ikan bandeng justru menjadi sajian utama yang dipilih oleh banyak warga Betawi. Banyak dari mereka yang mengadopsi tradisi Imlek ini dan menambahkan ikan bandeng sebagai hidangan khas dalam perayaan keluarga mereka.
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beky Mardani menuturkan, tradisi Nganter Bandeng mencerminkan dua budaya berbeda, Betawi dan Tionghoa, yang dapat saling menyatu dan melahirkan kebiasaan baru sehingga semakin memperkaya tradisi yang ada.
“Tradisi Nganter Bandeng ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya Betawi dan Tionghoa yang sudah terjalin sejak lama. Dalam pernikahan adat Betawi misalnya, pakaian pengantin perempuan dipengaruhi oleh budaya Tionghoa, sementara pengantin laki-laki lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Arab. Begitu juga dalam hal makanan, akulturasi ini tercermin dalam kebiasaan berbagi makanan khas, seperti bandeng saat perayaan Imlek,” tutur Beky kepada beritajakarta.id.
Menurut Beky, tradisi Nganter Bandeng bukan hanya sekadar ritual makan, tetapi juga menjadi simbol kekuatan hubungan antarkeluarga, yakni mengantar ikan bandeng sebagai tanda penghormatan kepada orang tua atau mertua.
Beky menjelaskan, tradisi Nganter Bandeng ini sudah berlangsung lama, meski tidak dikenal di seluruh wilayah Jakarta. Walaupun tradisi Nganter Bandeng tidak wajib, namun kebiasaan ini tetap dijaga dengan baik oleh masyarakat Betawi, khususnya di daerah Rawa Belong dan sekitarnya.
“Di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, tradisi ini kurang dikenal, tapi di daerah Rawa Belong dan sekitarnya, tradisi ini sudah sangat kuat. Jika menjelang Imlek tidak membawa ikan bandeng ke keluarga atau mertua, terasa ada yang kurang. Ini sudah menjadi bagian dari kebiasaan dan rasa saling peduli,” kata Beky.
Saksi Akulturasi Rawa Belong ibarat menjadi saksi tradisi Nganter Bandeng yang hingga kini masih terus bertahan, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, membawa kehangatan keluarga di tengah perayaan Tahun Baru Cina.
Tradisi Nganter Bandeng ini sangat kental di daerah Rawa Belong, Jakarta Barat yang menjadi salah satu sentra penjualan ikan bandeng menjelang Imlek. Para pedagang ikan bandeng musiman berjejer di pinggir jalan, menjajakan ikan bandeng segar dan berukuran besar dengan kualitas terbaik khusus untuk merayakan Tahun Baru Cina.
“Ikan bandeng memang enak dan lezat, terutama saat Imlek. Banyak peternak ikan yang menunda panen mereka agar ikan yang dijual menjelang Imlek memiliki ukuran yang besar dengan kualitas terbaik tentunya,” ungkap Beky.
Para pedagang ikan bandeng di kawasan ini sudah mengerti bahwa permintaan ikan bandeng akan meningkat drastis pada saat Imlek. Seiring permintaan yang melonjak menjelang Imlek, harga ikan bandeng pun semakin tinggi, dan Rawa Belong semakin ramai pembeli.
“Pedagang ikan keliling di Meruya juga sudah mulai menjual bandeng saat mendekati perayaan Imlek,” tambah Beky.
Dalam tradisi Betawi, ikan bandeng yang dibeli menjelang Imlek biasanya diolah menjadi hidangan khas, seperti pindang bandeng atau pucung bandeng. Kedua menu ini sudah menjadi sajian wajib yang tak boleh terlewatkan dalam perayaan Imlek bagi warga Betawi.
“Ikan bandeng yang dijual sering kali diolah menjadi pindang, meskipun ada juga yang memilih untuk memasaknya dengan cara lain seperti pesmol atau digoreng,” ucapnya.
Salah seorang pembeli ikan bandeng di Pasar Rawa Belong, Nawawi Bahrudin (48), mengaku melanjutkan tradisi turun-temurun keluarganya. Warga asli Betawi yang tinggal di Ciledug ini merasa erat dengan budaya Imlek, terutama tradisi menghidangkan ikan bandeng. Di keluarganya, hidangan bandeng menjadi menu utama sebelum perayaan Imlek dimulai. Ia percaya bahwa bandeng khas Imlek ini istimewa.
“Dari dulu Betawi dan Tionghoa sudah akrab. Saya ikut tradisi ini, dari engkong, emak, babeh sampai ke saya. Ikan bandeng yang dijual menjelang Imlek rasanya lebih enak, katanya memang bandeng khusus. Kemarin sudah antar ke orang tua dan mertua, sekarang beli buat keluarga sendiri. Kalau mertua saya, biasanya disemur atau dipindang, terus dimakan bareng keluarga dan tetangga. Semua ini bukan cuma tradisi, tapi juga bentuk kebersamaan,” ungkap Nawawi sambil menenteng ikan bandeng seberat 2,5 dan empat kilogram yang dibelinya.
Seorang penjual bandeng musiman yang sudah berjualan di Rawa Belong sejak tahun 1980, Ata, membagikan cerita tentang tradisi ini. Sebagai warga asli Betawi, ia menilai tradisi Nganter Bandeng saat Imlek bukan sekadar kewajiban, tetapi bagian dari warisan yang harus dilestarikan. Mengingat pentingnya kebersamaan dan rasa hormat yang tetap dijaga di tengah kesibukan dan zaman yang terus berkembang. Ia mengungkapkan, pada zaman dahulu, jika seseorang tidak mengantar ikan bandeng ke orang tua, akan dianggap anak yang tidak menghargai atau tidak sayang kepada orang tua.
“Saya sudah duluan kasih ke abang dan orang tua saya. Sambil jualan, sambil jalanin tradisi juga. Karena sudah tradisi, kalau nggak nganter bandeng ke keluarga, ada yang kurang. Emang udah harusnya begitu, emang harusnya bawain. Kalau zaman dulu kita nggak nganter bandeng ke orang tua, kita disangka anak tidak ingat atau tidak sayang sama orang tua,” kata pria yang tinggal di Palmerah, dekat kampus Binus ini.
Ia melanjutkan, dahulu, saking sakralnya tradisi ini, sampai ada orang yang rela menjual barang berharganya demi membeli ikan bandeng.
“Saya pernah lihat orang jual televisi buat beli bandeng. Dulu kalau mau kirim ke keluarga atau mertua, bandeng itu disindik (ditusuk, red), bukan dibungkus. Dan dibawa bersama petai, kecap dan kue keranjang,” ucapnya.
Bawa Berkah Buat SemuaKawasan Rawa Belong, Jakarta Barat menjadi pusat aktivitas ekonomi yang selalu ramai oleh pembeli maupun penjual ikan bandeng musiman saat menjelang perayaan Imlek. Aktivitas jual beli ikan bandeng di Rawa Belong biasanya berlangsung beberapa hari menjelang Imlek mulai pagi hingga malam seolah menunjukkan betapa besar dampak tradisi ini terhadap perekonomian. Harga yang ditawarkan para pedagang bervariasi, tergantung pada bobot dan kualitasnya.
Para pedagang musiman ini memanfaatkan momentum perayaan Imlek untuk meraup keuntungan dengan omzet harian yang dapat mencapai jutaan rupiah. Meskipun keuntungan tidak selalu besar, tradisi berdagang ikan bandeng saat Imlek dianggap membawa keberkahan bagi penjual dan pembeli.
Ata menjual ikan bandeng dengan berat antara 1,5 hingga empat kilogram dengan harga antara Rp60.000 hingga Rp80.000 per kilogram, tergantung ukuran ikan. Ia mengungkapkan bahwa omzet penjualan mencapai Rp3 juta pada hari pertama berjualan atau H-7 Imlek.
“Biasanya tahun lalu omzetnya bisa 5 sampai 6 juta per hari, tapi itu H-3 Imlek. Sekarang H-7 sudah jualan, lumayan hari pertama jualan sekarang siang udah dapat omzet Rp 3 juta. Saya ambil bandeng dari Muara Angke, tapi ini bandeng harian, bukan fiseran yang keras kayak kayu,” katanya seraya menekankan kualitas ikan yang dijual.
Ia mengungkapkan, pengalaman panjangnya berdagang membuatnya memiliki pelanggan tetap, termasuk dari kalangan masyarakat Tionghoa.
“Karena saya dagang sudah lama, saya juga punya langganan orang Tionghoa. Biasanya mereka cari saya,” kata Ata.
Di tengah lonjakan harga bandeng setiap Imlek, Ata bersyukur tradisi ini selalu memberikan berkah. Ia mengaku, walaupun untung tidak banyak, namun dirinya tidak pernah merugi.
“Ini kan tradisi yang sudah lama turun temurun, simbol keberkahan. Keberkahan untuk pembeli dan para pedagang juga. Kalau orang bilang dagang bandeng pas Imlek itu rugi saya tidak percaya, karena saya selama dagang tidak pernah rugi. Walaupun untung tidak banyak, tapi setidaknya untung lah,” ucapnya semringah.
Samsudin (35), adalah salah satu penjual ikan bandeng musiman di Rawa Belong yang meramaikan pasar menjelang Imlek. Meskipun baru lima tahun terjun ke bisnis ini, ia mengaku mengikuti jejak abang kandungnya yang sudah lebih dulu terjun ke dunia jual beli ikan bandeng sejak tahun 1998.
Pria yang akrab disapa Udin ini mengaku penjualannya mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun. Harga ikan bandeng yang dijual bervariasi tergantung pada ukuran ikan, biasanya berkisar antara satu kilogram hingga empat kilogram per ekor. Udin mengaku mendapatkan pasokan ikan bandeng dari Muara Angke, sebuah pusat distribusi ikan di Jakarta.
“Ada yang ngedrop ikan buat saya, ikannya dari Muara Angke. Tahun lalu harganya Rp50.000-Rp60.000 per kilogram, sekarang harganya Rp75.000-Rp90.000 per kilogram. Tiap tahun ada peningkatan, sekitar Rp10.000 sampai Rp15.000,” katanya.
Omzet yang didapat Samsudin juga meningkat tajam menjelang Imlek. Tahun lalu, ia bisa menjual hingga 70 kilogram per hari dengan omzet sekitar Rp5 juta. Namun, tahun ini, baru dua hari berjualan, ia sudah berhasil menjual lebih dari satu kuintal ikan bandeng dengan omzet sekitar Rp10 juta.
“Itu omzet ya, bukan keuntungan,” ucapnya sambil tersenyum.
Udin memulai jualannya lebih awal, bahkan seminggu sebelum Imlek. Ia menilai, meski hanya berdagang musiman, perayaan Imlek yang identik dengan tradisi Nganter Bandeng bukan hanya berdampak positif bagi para penjual, tetapi juga membawa berkah bagi semua pihak yang terlibat.
“Tahun lalu jualan tiga hari sebelum Imlek, sekarang beruntung nih bisa seminggu sebelum Imlek. Ini peluang yang sangat menguntungkan. Jadi tradisi ini bawa berkah buat pedagang karena perekonomian meningkat, dan masyarakat juga ikut senang karena ikan bandeng yang mau dikirim atau disantap besar-besar dan berkualitas,” tandasnya.