You don't have javascript enabled. Good luck with that.

For a better view,
please rotate your phone

Membopong Kesenian Lenong Betawi

Oleh :

Tiyo Surya Sakti

Minggu, 23 Februari 2025 | 471

"Eh jangan macem-macem lu, gua perampok nih, mau jarah rumah juragan," teriak seorang pria yang sontak memecah kesunyian salah satu rumah di Jalan Kemandoran VIII, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Bukannya panik, teriakan pria tersebut justru disambut tepuk tangan dan sorak-sorai orang-orang di lokasi. Sebab, dialog itu bukanlah kejadian sungguhan, tapi menjadi alur cerita Lenong Betawi yang dimainkan Sanggar Mandor Mili dalam latihan mereka yang membawakan lakon 'Tobatnya Sang Jago'.

Alunan rampak gendang musik Gambang Kromong membuat suasana semakin riuh mengiringi latihan pertunjukan Lenong Betawi di sanggar yang sudah berdiri sejak 2019 silam.

Lengkingan gesekan Tehyan yang dimainkan dengan nada Pentatonis Cina atau disebut Salendro Cina atau Salendro Mandalungan memberikan harmoni suasana gembira hingga menyayat kesedihan menyesuaikan skenario lakon.

Pemain dari berbagai lapisan usia unjuk kebolehan memainkan peran dalam seni pertunjukkan masyhur di tanah Betawi yang tidak hanya menghibur, namun syarat pesan moral hingga kritik sosial.

Namun, belakangan masa keemasan kesenian ini kian memudar. Laksana menyusuri lorong gelap menuju cahaya, eksistensi Lenong Betawi hingga kini masih tetap dipertahankan agar bisa kembali menyeruak di tengah gegap-gempita budaya kekinian.

Dalam perkembangan zaman saat ini, Sanggar Mandor Mili, satu dari sedikit sanggar yang memiliki peran penting untuk 'membopong' Lenong atau mengangkat kearifan lokal tanah Betawi supaya tetap lestari dan semakin dikenal masyarakat luas.

Pengurus Sanggar Mandor Mili, Kusnadi yang akrab disapa Cang Nadi mengatakan, sanggar ini berdiri sejak April 2019. Materi latihan pun didapat dari sesepuh-sesepuh pelaku seni Lenong Betawi. Sanggar yang berisikan lebih dari 30 anggota tersebut mengadakan latihan secara rutin setiap pekan pada hari Rabu.

"Dalam seni tradisi, Lenong Betawi sangat menarik karena banyak isian yang harus dikuasai pemain, mulai dari musik Gambang Kromong, pantun, silat, komedi dan tentunya seni peran," ujarnya beberapa waktu lalu.

Cang Nadi menjelaskan, saat ini Sanggar Mandor Mili sudah mempunyai empat judul Lenong Betawi yang biasa dipentaskan yakni Perebutan Benda Pusaka, Cinta dan Fitnah, Perselisihan Dua Saudara serta Tobatnya Sang Jago. Keempat judul tersebut merupakan cerita fiksi yang dikemas sedemikian rupa.

"Dalam waktu dekat kami juga akan menggarap kisah nyata jawara Kemandoran yakni Mandor Sarmili yang diabadikan menjadi nama gang di Jalan Kemandoran ini," terangnya.

Menurut Cang Nadi, Lenong Betawi mengalami perkembangan dari masa ke masa, mulai dari pertunjukan di kampung-kampung hingga tampil di televisi.

"Awalnya, kesenian Lenong dipertunjukkan dari kampung-kampung diadakan di tempat terbuka tanpa adanya panggung. Lenong juga pernah menjadi bagian dari alat perjuangan," ungkapnya.

Cang Nadi menuturkan, konon Lenong merupakan pelafalan dari nama saudagar Cina bernama Lien Ong yang kerap menggelar seni pertunjukkan semasa hidupnya.

"Dulunya, para lakon atau pemain Lenong memainkan lawakan-lawakan tanpa menggunakan alur cerita yang kemudian dirangkai dan dipertontonkan dengan ciri khas. Sehingga dapat terlihat dari setiap adegan, dialog, tari dan humor yang dilakukan secara improvisasi," bebernya.

Berawal dari Lenong, banyak pesohor yang kini diakui kemampuannya di dunia hiburan dan seni peran. Sebut saja, Benyamin Sueb, Haji Malih, Haji Bolot, Mpok Nori hingga Mandra yang sudah kondang seantero negeri dan kerap menghiasi layar kaca. Bahkan, seniman Betawi, Benyamin Sueb juga membintangi langsung film layar lebar berjudul Benyamin Raja Lenong yang disutradarai Syamsul Fuad pada 1975.

Ragam Jenis Lenong Betawi

Pria kelahiran Januari 1976 ini membeberkan, saat ini ada tiga jenis Lenong yang biasa dimainkan sanggar-sanggar seni budaya Betawi di Jakarta. Ketiganya yakni Lenong Denes, Lenong Preman dan Lenong Dakwah.

Saat membawakan Lenong Denes, para pemain biasanya mengenakan busana formal dan bahasa lebih santun. Sebab, Lenong tersebut kerap mengangkat cerita tentang kerajaan atau lingkungan bangsawan.

Kemudian, Lenong Preman yang lebih mengisahkan tentang cerita pahlawan Betawi seperti Si Pitung dan Si Jampang. Lenong jenis ini dibawakan dengan menggunakan bahasa sehari-hari dengan skenario berisi kritik sosial dan pesan moral.

"Kalau untuk Lenong Dakwah biasanya dilakukan untuk menyampaikan pesan moral atau propaganda dan juga menjadi sarana untuk mendidik, mengubah perilaku serta membentuk karakter positif," jelasnya.

Ia berharap, di tengah era digital saat ini, Lenong harus terus dibudidayakan dan diberdayakan seluruh lapisan masyarakat, terutama kalangan muda yang sudah banyak melupakan kearifan lokalnya.

Untuk itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, terutama Dinas Kebudayaan bersama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diminta harus memberikan perhatian dan dukungan yang besar.

Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi juga diharapkan bisa segera terselesaikan. Sehingga, seni budaya Betawi dan kearifan lokalnya mendapat dukungan dan ruang yang baik untuk terus berkembang dan semakin maju.

"Intinye generasi penerus harus cinta sama budaya Betawi. Karena bagaimanapun ente tinggal di Jakarta, jadi harus mencintai budaya aslinye. Saya yakin dengan kepimpinan Bang Anung dan Bang Doel, kemajuan budaya Betawi akan semakin diperhatikan," tandasnya.