You don't have javascript enabled. Good luck with that.

For a better view,
please rotate your phone

Si Kecil Harapan Bangsa

Oleh :

Reza Pratama Putra

Minggu, 20 Juli 2025 | 243

"Anak-anak adalah anugerah terindah dari tuhan," ungkapan ini kerap kali digunakan untuk menggambarkan betapa berharganya kehadiran seorang anak yang membawa suka cita, kegembiraan dan gelak tawa dalam setiap keluarga.

Namun di balik kebahagiaan si kecil pada era modernisasi saat ini, ada sejarah kelam anak-anak Indonesia di era kolonial. Pada abad ke-19, saat Batavia menjadi pusat pemerintahan Hindia-Belanda, banyak anak pribumi menjadi korban eksploitasi tenaga kerja kolonial. Selama periode ini, anak-anak kehilangan akses pendidikan yang layak. Alhasil, setiap anak pribumi dipaksa bekerja di sektor rendahan seperti berdagang, menjahit hingga menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Belanda.

Anak-anak pribumi terpaksa melakukan pekerjaan karena banyak dari keluarga mereka yang hidup dalam roda kemiskinan. Sehingga para orang tua tidak punya pilihan lain selain mengirim anak-anaknya bekerja. Praktik eksploitasi ini terus berlangsung hingga abad ke-20 yang memperburuk ketidaksetaraan sosial dan memperpanjang garis kemiskinan di kalangan pribumi hingga berdampak besar pada masa depan anak-anak di era itu.



Hingga pada 1951, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan penetapan Hari Kanak-Kanak Nasional sebagai upaya memperjuangkan hak anak. Usulan itu pun disambut positif pemerintah dengan menggelar perayaan Hari Kanak-Kanak Nasional pertama bertajuk 'Pekan Kanak-Kanak' pada 1952 di Istana Merdeka Jakarta. Pada momen tersebut, ribuan anak melakukan pawai dan disambut Presiden Soekarno.

Berdasarkan Sidang Kowani di Bandung pada 1953 menetapkan perayaan Pekan Kanak-Kanak rutin dilaksanakan setiap pekan kedua bulan Juli atau tepat saat masa liburan kenaikan kelas. Namun keputusan ini dianggap tidak memiliki nilai historis karena perayaan tersebut tidak dilaksanakan pada tanggal tetap. Hingga memasuki orde baru, Presiden Soeharto mengubah tanggal peringatan Hari Kanak-Kanak Nasional menjadi 23 Juli, bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979. Perubahan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44 Tahun 1984.



Sebagai upaya mendukung pemenuhan hak anak dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah membangun fasilitas publik berupa 324 Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan 2.556 lokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan cakupan sebesar 5,2 persen pada 2025. Di fasilitas publik tersebut, anak-anak bisa bermain, belajar dan merefleksikan diri mereka dalam bersosialisasi serta mendukung perkembangannya secara optimal.

Pemprov DKI Jakarta juga turut memberikan ruang kegiatan kreatif dengan menggelar Festival Anak berisi beragam perlombaan yang mampu mengasah kreativitas anak dalam perayaan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli.



Hari Anak Nasional bukan hanya seka dar peringatan, tapi sebagai bentuk perjuangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak yang harus dipenuhi dan dilindungi. Termasuk hak atas pendidikan, kesehatan serta perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi. Hal ini selaras dengan ucapan salah satu tokoh Pastor Katolik bernama Don Bosco yang berbunyi "Kebahagiaan pertama seorang anak adalah mengetahui bahwa ia dicintai,". Ungkapan ini merujuk pada peran orang tua dalam tumbuh kembang setiap anak akan sangat berdampak, baik secara fisik  maupun mental di masa depan. Karena setiap anak merupakan harapan bagi kemajuan bangsa dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.