Webinar Prasasti Padrao, Gubernur Anies Berharap Jadi Bagian Pembangunan Jakarta Sebagai Kota Budaya
Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta mengadakan webinar dengan tema 500 Tahun Prasasti Padrao Jakarta: Penanda Perjanjian Internasional Antara Portugis dan Kerajaan di Nusantara pada Kamis (25/8).
Semoga seminar ini menjadikan Jakarta kota budaya
Kegiatan yang dibuka oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan itu diharapkan turut menjadi bagian dari pembangunan Jakarta sebagai kota budaya.
Gubernur Anies dalam sambutannya mengatakan, Prasasti Padrao sangat bernilai karena merupakan sebuah penanda perjanjian internasional. Selain itu mengandung banyak pelajaran yang bisa diambil.
Disbud DKI akan Gelar Webinar 500 Tahun Prasasti Padrao Jakarta"Semoga seminar ini menjadikan Jakarta kota budaya. Kota yang bukan hanya melestarikan, tetapi juga mengembangkan dan mengambil hikmah dari perjalanan kebudayaan dan perjalanan sejarah," ujar Gubernur Anies pada kesempatan tersebut.
Narasumber Didik Pradjoko dalam kesempatan itu menjelaskan lebih dahulu mengenai sejarah perdagangan internasional yang sudah terjadi pada abad sebelum masehi melalui jalur darat (jalur sutra) dan jalur laut.
"Pada abad 1-3 Masehi, dinamika pelayaran perdagangan sudah terbentuk," ucapnya.
Menurutnya, armada Portugis hadir di Sunda Kelapa pertama kali tahun 1513 dipimpin oleh de Alvin dengan empat kapal untuk mencari lada. Tome Pires, penulis dan bendahara Portugis yang ikut serta dalam armada tersebut mendeskripsikan Pelabuhan Sunda Kelapa di mana airnya dalam, ramai dan memiliki administrasi yang baik.
Beberapa tahun kemudian atau pada 1522, Henrique Leme bersama armada Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk berunding dengan Raja Samian (Sang Hyang atau Raja Surawisesa, memerintah 1521-1535). Akhirnya 21 Agustus 1522, ditandatangani perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dengan Portugis. Menurut Adolf Heuken perjanjian ini adalah kontrak perjanjian internasional pertama di Indonesia.
Saksi dari pihak Kerajaan Sunda adalah Tumenggung (Padam Tumungo), Sang Adipati (Samgydepati), Bendahara (e outre Beneger) dan Syahbandar (xabamdar), sedangkan dari pihak Portugis ditandatangani oleh delapan saksi.
Dalam perjanjian tersebut Portugis diizinkan membangun benteng di tepi Sungai Ciliwung, Sunda Kelapa dan dapat membeli 1.000 bahar lada per tahun (Uka Tjandra Sasmita, The Indonesian Harbour Cities and the Coming of The Portuguese, dalam de Sousa dan Leirissa, Five Hundreds Years of Historical Relationships, 2001).
"Penanda perjanjian itu dibuatlah Batu Padrao," ucapnya.
Sementara itu, budayawan Ridwan Saidi mengatakan, Prasasti Padrao bukan soal membangun benteng, tetapi menyangkut pembangunan Sunda Kelapa sebagai salah satu zona ekonomi.
“Investasi Portugis saat itu sangat diperlukan dan menurutnya pembangunan itu berhasil,” tandasnya.