Ini Strategi Dinas LH DKI Dalam Kendalikan Pencemaran Udara
Dalam upaya mengendalikan peningkatan konsentrasi polutan udara, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menerapkan beberapa strategi.
Untuk mengembalikan kualitas udara Jakarta yang lebih baik, diperlukan peran serta seluruh stakeholder, pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Kepala Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI, Yogi Ikhwan memaparkan, beberapa langkah yang telah dilakukan pihaknya dalam mencegah dan mengendalikan pencemaran udara, yakni dengan mengeluarkan regulasi tentang pengendalian pencemaran udara, mengatur pengendalian pencemaran dari sumber bergerak, tidak bergerak dan di dalam ruangan (KDM).
Kemudian terbitnya Ingub nomor 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara, dimana terdapat tujuh aksi di dalamnya. Yaitu, peremajaan dan uji emisi kendaraan umum, pemberlakuan sistem ganjil genap, penerapan tarif parkir progresif dan Congestion Pricing. Kemudian pembatasan usia kendaraan dan uji emisi kendaraan pribadi.
Dinas LH - KHLK Bakal Latih Ratusan Teknisi Bengkel se-JabodetabekSelanjutnya, peralihan moda, peningkatan kenyamanan dan fasilitas pejalan kaki, pengendalian sektor industri, penghijauan pada sarana dan prasarana publik hingga soal energi terbarukan. Selain itu ditertbikannya Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
Solusi lain yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup DKI adalah, melakukan pengendalian pencemaran udara yang akan dituangkan dalam Keputusan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU).
"Kami juga melakukan kerjasama dengan pihak akademisi, praktisi dan NGO peduli lingkungan dalam menyusun kajian regulasi," ucapnya
Selain itu, lanjut Yogi, pihaknya juga melaksanakan aksi pengendalian pencemaran udara, salah satunya dengan uji emisi kendaraan bermotor, mengenakan disinsentif tarif parkir tertinggi bagi kendaraan yang tidak lulus emisi, penanaman pohon yang dilakukan komunitas dalam program kampung iklim.
Selanjutnya, melakukan pengawasan sumber emisi tidak bergerak (cerobong) melalui pengawasan pasif dan aktif serta melakukan penegakan hukum terhadap kegiatan usaha yang melanggar aturan.
Dipaparkan Yogi, pencemaran udara di Jakarta, khususnya untuk polutan SO2, sumber terbesar berasal dari sektor industri. Sedangkan untuk NOx, CO, PM10 dan PM2,5 didominasi berasal dari sektor transportasi.
Sumber emisi di suatu wilayah, menurut Yogi, akan mempengaruhi wilayah lain karena adanya pergerakan polutan akibat pola angin yang membawa polutan bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi di lokasi tersebut.
Selain aksi dan regulasi, Dinas LH DKI juga melakukan upaya pengawasan dan pencegahan dengan memasang lima stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) yang tersebar di lima wilayah kota administrasi. Salah satunya di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Dengan alat ini akan diketahui nilai Indeks tingkat pencemaran satu wilayah.
"Indeks dihitung dari data-data yang diperoleh SPKU yang secara kontinyu dan setiap saat dilakukan pemantauan," kata Yogi.
Sekadar diketahui, kualitas udara tahunan sesuai standard badan kesehatan dunia WHO sangat ketat. Karena untuk seluruh dunia bagi kesehatan masyarakat. WHO untuk partikulat (debu yang sangat halus yaitu PM 2,5) menetapkan standarnya tahunan 5 mg/m3. Sedangkan di Indonesia berdasarkan PP No. 22 tahun 2021 untuk PM2,5 rata tahunannya adalah 15 mg/m3.
Paparan PM2,5 pada konsentrasi tertentu akan menyebabkan iritasi paru-paru, meningkatkan kerentanan terhadap virus dan bakteri patogen yang menyebabkan pneumonia pada orang yang rentan. Kemudian memperburuk keparahan penyakit paru-paru kronis dan peradangan jaringan paru-paru.
Untuk menghindari dampak dari polusi tersebut, Yogi menyampaikan, agar warga yang sensitif terhadap debu halus sebaiknya selalu menggunakan masker dan menghindari aktivitas di luar kantor terlalu lama.
"
Untuk mengembalikan kualitas udara Jakarta yang lebih baik lagi maka diperlukan peran serta seluruh stakeholder, pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Dimana pemerintah berperan untuk menetapkan kebijakan dan menyediakan fasilitas yang mendukung terciptanya kualitas udara yang baik," beber Yogi.Peran masyarakat dan dunia usaha adalah mendukung kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Antara lain, uji emisi kendaraan bermotor, penggunaan kendaraan umum, menanam tanaman yang dapat menyerap polutan, tidak membakar sampah, menggunakan bahan bakar ramah lingkungan (gas, listrik).
Menurut Yogi, Jakarta padahal bukan yang tertinggi di Indonesia kualitas udaranya. Penurunan kualitas udara di Jakarta merupakan dampak gelombang panas di Asia kawasan tropis. Naiknya suhu udara di kawasan tersebut menyebabkan terjadi interaksi lapisan ozon yang ada di atmosfer dan lapisan bumi. Sehingga senyawa-senyawa organik, seperti NOx, bereaksi dan memuai dilanjutkan secara horizontal dan vertikal.
"Secara sederhana mengapa terjadi di perkotaan, karena banyak faktor bukan hanya transportasi. Tetapi akibat pembangunan di sekitarnya," ungkap Yogi.
Di daerah perkotaan, sebut Yogi, terdapat UHI (Urban Hit Isand) terjadi karena adanya penyerapan panas pada siang hari oleh material bangunan aspal beton dan dikeluarkan pada malam hari.
"Sehingga tingkat polusi paling tinggi justeru di pagi hari," tandasnya.