Basuki Pertanyakan Temuan BPK Soal Kampung Deret
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai program kampung deret yang dinilai melanggar kerena dibangun di atas tanah negara menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, berdasarkan aturan Badan Pertanahan Nasional (BPN), masyarakat tidak mampu diperbolehkan mengurus sertifikat di atas tanah negara.
Pertanyaan saya tanah negara, tanah pemprov bukan? Bukan. Ya kalau bukan masa rakyat sudah tinggal 15-20 tahun tidak boleh mengajukan sertifikat
"Kalau baca peta BPN, Monas itu lahan negara atau provinsi? Lahan negara, karena belum ada sertifikat. Masa pemerintah harus bikin sertifikat? Itu yang terjadi di aturan negara ini. Sekarang kalau masyarakat tinggal di tanah negara, bukan atas provinsi kami punya sertifikat, itu hak rakyat tidak? Iya. Jadi salahnya di mana?" kata Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama di Balaikota, Senin (14/7).
Dikatakan Basuki, program kampung deret di pemukiman warga Petogogan yang notabene berada di atas tanah negara ternyata telah mengantongi sertifikat dari BPN. "Pertanyaan saya tanah negara, tanah pemprov bukan? Bukan. Ya kalau bukan masa rakyat sudah tinggal 15-20 tahun tidak boleh mengajukan sertifikat," ujarnya
Basuki Dukung DPRD Bentuk Pansus Tindaklanjuti Temuan BPKBasuki juga mempertanyakan mengapa BPK tidak membahas terkait pembayaran tiping fee terkait pengelolaan TPST Bantargebang sebesar Rp188 miliar. Termasuk pula persoalan Pasar Blok A Tanah Abang yang seharusnya diserahkan kepada Pemprov DKI, namun juga tidak dibahas.
"Kenapa di zaman pilpres ini cuma nyerangnya Kartu Jakarta Pintar (KJP) sama temuan kampung deret? Kampung deret juga bukan temuan kok. Sejak kapan Silpa dianggap temuan? Makanya saya tantang BPK, audit yang lebih kejam," ungkapnya.
Untuk itu, Basuki menantang BPK "lebih kejam" mengaudit dan menerapkan standar yang berlaku sama dengan kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia. "Nah saya ingin DKI dibuat disclaimer saja, tidak dinyatakan pendapat, supaya provinsi, kabupaten, kota lain kalau tidak sama dengan standar kita, kita akan ribut. Suruh KPK periksa semua. Audit saja semua. Aku tantang BPK untuk audit yang lebih keras, tapi tolong, kabupaten, kota, dan provinsi lain standarnya harus kita," tegasnya
Mantan Bupati Belitung Timur itu menilai, jika ada yang lebih buruk dari Jakarta soal transparansi dan lainnya, diberikan nilai lebih baik, berarti dalam institusi tersebut ada oknum yang bermain. "Tahun 2012, sertifikat untuk aset di DKI tidak ada sama sekali yang dibuat. Sedangkan pada tahun 2013 dari target 100 aset hanya 35 sertifikat yang dibuat. Sisanya yang 65 tidak bisa dibuat karena merupakan temuan," tambahnya.
Seperti diketahui, hasil audit BPK terkait laporan keuangan Pemprov DKI 2013 mencatat sebanyak 86 temuan dengan nilai Rp1,54 triliun. Temuan tersebut berindikasi kerugian daerah senilai Rp85,36 miliar, temuan potensi kerugian daerah senilai Rp 1,33 triliun, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp95,01 miliar dan temuan 3E senilai Rp23,13 miliar.
Dalam laporannya, BPK menemukan sejumlah permasalahan signifikan seperti kegiatan pembuatan sistem informasi e-surat, e-dokumen, e-harga, e-budgeting, sistem belanja hibah dan bantuan sosial, e-asset, e-fasos-fasum, dan e-pegawai yang tidak sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa.
BPK juga menyoroti penyaluran program dana bantuan sosial KJP terindikasi ganda sebanyak 9.006 nama penerima, yaitu nama anak dan ibu kandung yang identik senilai Rp13,34 miliar. Termasuk juga realisasi belanja biaya operasional pendidikan untuk sekolah negeri senilai Rp1,57 triliun dicatat bukan berdasarkan bukti pertanggungjawaban dari sekolah melainkan sejumlah uang yang ditransfer ke sekolah dikurangi pengembalian dari sekolah. Dari hal itu terindikasi kerugian senilai Rp8,29 miliar.
Kemudian penyaluran dana hibah BOP swasta masih belum sesuai ketentuan dan tidak efektif senilai Rp6,05 miliar, diantaranya sekolah tidak mengajukan proposal tapi menerima dana BOP, dan terjadi manipulasi dokumen Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) berindikasi kerugian Rp2,19 miliar. Temuan lainnya adalah program penataan kampung deret tidak optimal serta pengadaan bus Transjakarta yang ditemukan tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan tidak dapat diyakini
kewajaran harganya senilai Rp118,40 miliar dan Rp43,87 miliar.