Tanggapi Laporan LBH Jakarta, Pemprov DKI Telah Menerapkan Berbagai Kebijakan Pengendalian Kualitas Udara
Pengendalian kualitas udara menjadi salah satu kegiatan strategis Pemprov DKI Jakarta. Menanggapi laporan yang disampaikan LBH Jakarta terkait kualitas udara di Ibu Kota, Pemprov DKI Jakarta sejatinya sudah memiliki aturan yang tertuang dalam Instruksi Gubernur (Ingub) No. 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Berbagai kebijakan pun telah diterapkan.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta sedang menyusun Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara (GDPPU)
“Sebelumnya, kami menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada LBH Jakarta atas laporan yang diberikan, karena ini juga sebagai wujud demokrasi di negara kita. Namun, ada sejumlah hal yang perlu kami sampaikan juga bahwa kami di Pemprov DKI Jakarta terus berupaya mencari solusi dan menetapkan kebijakan atas permasalahan yang ada, termasuk dalam hal pengendalian kualitas udara di Ibu Kota,” ungkap Asisten Pemerintahan Sekda Provinsi DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko, dikutip dari Siaran Pers PPID Provinsi DKI Jakarta pada Sabtu (23/10).
Perlu diketahui, BMUA (Baku Mutu Udara Ambien) DKI Jakarta saat ini mengacu pada PP No. 22 Tahun 2021 (Lampiran 7) yang menerapkan standar lebih ketat. Sedangkan, rujukan yang digunakan laporan LBH masih pada Kepgub No. 551 Tahun 2001 tentang Penetapan BMUA dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999.
Dinas LH Terus Berupaya Tingkatkan Kualitas Udara di JakartaBerdasarkan hasil pemantauan kualitas udara di Jakarta, konsentrasi rata-rata tahunan polutan udara untuk parameter SO2, NO2 dan CO masih berada di bawah BMUA Tahunan. Sedangkan, untuk parameter PM10, PM2,5 dan Ozon (O3) di atas BMUA, tetapi mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun.
Adapun aturan yang tertuang dalam Ingub No.66 Tahun 2019 mengatur 7 rencana aksi, di antaranya (1) peremajaan bus kecil, sedang dan besar, di mana tidak diperbolehkan lagi angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun untuk beroperasi di Jakarta, (2) adanya rekayasa lalu lintas melalui Ganjil Genap, penerapan ERP (Electronic Road Pricing) dan tarif parkir, (3) melakukan uji emisi, (4) migrasi ke transportasi umum, (5) inspeksi setiap enam bulan sekali dan memperketat pengendalian polutan pada cerobong industri aktif, (6) memasifkan penghijauan, serta (7) mendorong penggunaan energi terbarukan.
Tentu, peran serta masyarakat menjadi penting dalam pengendalian kualitas udara ini. Dalam aktivitas keseharian, masyarakat juga didorong menggunakan transportasi umum dan menjadikan sepeda sebagai alat transportasi, dengan infrastruktur yang juga terus dikembangkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta sedang menyusun Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara (GDPPU) sebagai dokumen strategis dan peta jalan pengendalian kualitas udara.
Hal ini sebagai tindak lanjut putusan pengadilan atas gugatan warga negara terhadap kualitas udara di Jakarta. Perlu diketahui, selama proses gugatan warga negara terkait kualitas udara, hanya Pemprov DKI Jakarta yang paling kooperatif dengan mengundang Penggugat dan melakukan mediasi di luar persidangan sebanyak dua kali. Bahkan, dalam sebuah wawancara media, perwakilan LBH pun mengakui, kesepakatan dengan DKI Jakarta mencapai 85% dari tuntutan.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan, telah mengajak masyarakat dan mengundang pemangku kepentingan, khususnya warga yang memiliki ide, gagasan, inovasi, dan inisiatif untuk berkolaborasi dengan Pemprov DKI Jakarta dalam menyusun GDPPU, agar menjadi salah satu upaya terobosan memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota.
“Pemprov DKI Jakarta meyakini, LBH ingin menghadirkan keadilan, seperti halnya keinginan Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan-kebijakan yang dihadirkan. Untuk itu, kami di Pemprov DKI Jakarta terbuka untuk berkolaborasi secara substantif,” pungkas Sigit.